Selasa, 08 Juli 2008

hai anak kemayoran

Kemayoran, Riwayatmu Kini


Masih ada sisa-sisa sebuah lapangan ter-bang di Kemayoran. Dua landasan pacu dan bekas menara pengendali lalu lintas udara masih kokoh walau perlu perbaikan. Kerangka dua pesawat kecil Piper teronggok di dekat bekas tower itu. Tak jauh dari sana, bersebelahan dengan pusat onderdil Jakarta, dua pesawat kargo DC-6 milik Bayu Air terparkir tak bertuan. Padahal dulu, berbagai jenis pesawat pernah menghiasi bandara tersibuk di Indonesia pada zamannya itu. Karenanya, sudah selayaknya kalau di sana dibangun museum Kemayoran Tempo Doeloe. Karena hanya itulah yang bisa dilestarikan di kawasan Kota Baru Bandar Kemayoran, di antara menara-menara pencakar langit sebagai pusat perdagangan internasional yang jadi prioritas.
Rongsokan pesawat dan apartemen

Mendengar Kemayoran, masyarakat Jakarta masih terkenang akan sebuah lapangan terbang yang sibuk. Pesawat-pesawat berlogo 'Garuda Indonesian Airways' dengan garis berwarna oranye terbang-mendarat dan lalu-lalang di sana. Ditambah pesawat-pesawat asing, seperti KLM (Belanda), JAL (Jepang) Thai (Thailand) dan PAL (Filipina), juga 'burung-burung besi' kecil milik aeroclub, Bea Cukai dan Deraya atau pesawat kargo Bayu Air.

Suara deru mesin pesawat yang terdengar sejak pukul 03.00 dini hari sampai tengah malam dan ramainya pengguna jasa lapangan terbang atau kini disebut bandar udara (bandara) masih membekas di hati penduduk sekitar. "Sampai beberapa tahun setelah Kemayoran ditutup, saya merasa kehilangan. Saya masih terbangun dini hari, tapi bukan lagi oleh deru engine pesawat," kenang Yoewono Sastrosoedarmo, pensiunan karyawan PT Angkasa Pura (AP) I yang tinggal di komplek sekitar Bandara Kemayoran.

"Rutinitas kesibukan pun hilang. Kebiasaan yang kita rasakan tentu saja hilang, hingga ada rasa sepi dan lengang, di sini," tambah Yoewono sambil menunjuk hatinya, dengan wajah sedih. Tentu saja ia merasa kehilangan, karena sejak tahun 1964 sudah mengenal Kemayoran. Bahkan tahun 1968, ia menjadi karyawan Angkasa Pura, sebagai pengelola Bandara Kemayoran dan berkantor di sana, sampai pensiun setahun lalu. Kenangannya pada kesibukan bandara masih terpatri dalam benaknya
Jalan Benyamin Sueb

Yang jadi kenangan memang bukan cuma bandara. Warga Jakarta punya musik terkenal, Keroncong Kemayoran. Juga tak akan lupa cerita legendaris tentang Si Pitung Macan Kemayoran, jagoan Betawi yang ditakuti Kompeni. Ceritanya pernah difilmkan, walau pemerannya bukan tokoh dan artis serbabisa Benyamin Sueb kini sudah almarhum yang warga asli Kemayoran. Tapi Benyamin atau 'Bang Ben' adalah idola masyarakat Betawi, khususnya. Hingga untuk mengenangnya, Pemerintah DKI Jakarta memberi nama jalan utama (bekas landasan pacu utara-selatan) dengan nama 'Benyamin Sueb'.

Pendeknya, nama Kemayoran sudah dikenal dengan berbagai romantikanya. Karena itulah, keberadaan cerita legenda, masyarakat, material serta flora dan fauna, bahkan jalan-jalan kecil pun di Kemayoran diimpikan untuk tetap dilestarikan. Bahkan konsep pembangunan yang dicanangkan sebagai Kota Baru Bandar Kemayoran setelah bandara ditutup, punya filosofi: Membangun Tanpa Menggusur.

Tapi rupanya filosofi itu tidaklah mudah dilaksanakan. Warga 'asli' yang awalnya lebih dari 5.000 jiwa di areal Kemayoran itu, misalnya, kini tinggal 1.700. Sedianya mereka akan ditempatkan di rumah susun dengan harga murah. Hingga warga asli pun dapat membayarnya dari hasil ganti rugi tanah yang diambil untuk ditata. Tapi rupanya konsep saja tidak cukup. Warga asli malah banyak menyingkir ke tempat lain.

Penduduk memang makin banyak. Tapi pendatang lah yang sebagian besar menempati rumah susun yang dibangun di areal bekas apron bandara Kemayoran itu. Apalagi nanti, bila apartemen dan kondominium mewah sudah berdiri menjulang. Bukan mustahil, warga 'internasional' yang menempatinya. Warga asli sendiri, jelas tersingkirkan.

Kemayoran memang direncanakan agar penuh dinamika. Saat ramainya sebuah bandara pun, dinamika itu sudah terlihat jelas. Siapa pun, penduduk mana pun di berbagai belahan dunia, pernah singgah di sana. 'Burung-burung besi' yang menerbangkan mereka, hingga burung-burung penghuni 'asli' menyingkir pula ke habitat lain yang masih menawarkan ketenangan.

Ada memang sebuah 'hutan' yang terletak di bagian utara kawasan Kemayoran. Di areal tersebut terdapat waduk pengendali banjir seluas sekitar 15 hektare. Tapi, semak-semak, tumbuhan perdu dan pohon-pohon di sana, sebagian rata dengan tanah karena akan dibangun lapangan golf.

Burung-burung yang ada pun terpaksa mengungsi ke Pulau Rambut. "Tapi itu sementara, saat pembangunan berlangsung. Menurut ahlinya, burung-burung itu akan kembali kelak," kata Ir. Abdul Muis, MHA,MM, Ketua DP3KK (Direksi Pelaksana Pengendalian Pembangunan Komplek Kemayoran) yang didampingi Direktur Pembangunan DP3KK, Ir. Dadang Danamihardja. Kapan mereka akan kembali, bila pembangunan tak kunjung selesai? Hanya waktu yang akan bicara. Apalagi bila populasi burung-burung itu semakin lama semakin berkurang.

Tahun '60-an, saat Bandara Kemayoran dikelola perusahaan negara Angkasa Pura, lingkungan memang diperhatikan. Areal kosong di sekitar bandara ditanami kangkung dan tanaman sejenis yang tidak merambat dan tinggi untuk keselamatan penerbangan. Penduduk sekitar pun dapat memanfaatkannya. Jadi, sangatlah ironis bila lingkungan tidak terperhatikan. Walau dalam konsep pembangunannya sekarang begitu ideal, perlu ada tekanan bahwa lingkungan hijau dan nyaman masih perlu digalakkan.
Airshow pertama
Bekas tower dilestarikan

Masyarakat akan tetap mengingat Kemayoran sebagai bandara. Banyak orang akan mengenang Indonesia Air Show (IAS) '86 airshow pertama di Indonesia pernah diadakan tahun 1940 yang diselenggarakan di Kemayoran, walau waktu itu bandara sudah ditutup. Kemayoran lah bandara paling sibuk di zamannya, yang hanya tertandingi Bandara Sepinggan di Balikpapan yang saat itu memang begitu penuh kegiatan penambangan minyak bumi dan perkayuan. Awal tahun '80-an, Kemayoran sudah menampung hampir 4 juta penumpang dan lebih 100.000 penerbangan setahun.

Landasan Kemayoran mulai dibangun tahun 1934 oleh pemerintah kolonial Belanda. Sementara, Kemayoran yang pertama sebagai lapangan terbang internasional di Indonesia, diresmikan tanggal 8 Juli 1940, dan dikelola Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappy (KNILM). Dua hari sebelum peresmian, pesawat pertama yang tercatat mendarat di sana adalah DC-3 milik KNILM, diterbangkan dari lapangan udara Tjililitan (sekarang Halim Perdanakusuma). Pesawat sejenis, yakni DC-3 berregistrasi PK-AJW juga yang pertama bertolak dari Kemayoran menuju Australia, sehari kemudian.

Pada hari peresmiannya, KNILM menggelar beberapa pesawat miliknya. Di apron terdapat pesawat DC-2 Uiver, DC-3 Dakota, Fokker F-VIIb 3m, Grumman G-21 Goose, de Havilland DH-89 Dragon Rapid dan Lockheed L-14 Super Electra. Sekitar dua bulan kemudian, KNILM mendatangkan pesawat baru, seperti Douglas DC-5 dan Sikorsky S-43 Baby Clipper.

Di Kemayoran pula diselenggarakan airshow pertama, bertepatan dengan hari ulang tahun Raja Belanda, 31 Agustus 1940. Selain digelar pesawat-pesawat milik KNILM, pesawat-pesawat pribadi yang bernaung dalam Aeroclub di Batavia meramaikannya. Ada Buckmeister Bu-131 Jungmann, de Haviland DH-82 Tigermoth, Piper Cub dan pesawat Walraven W-2 yang pernah melakukan penerbangan Batavia-Amsterdam 27 September 1935.

Saat itu, perang di Asia Pasifik mulai berkecamuk. Kemayoran kembali digunakan untuk penerbangan pesawat-pesawat militer seperti saat pertama kali dioperasikan Belanda, walau penerbangan sipil tetap berlangsung. Pesawat-pesawat militer yang sempat singgah antara lain Glenn Martin B-10, B12, Koolhoven FK-51, Brewster F-2 Buffalo, Lockheed L-18 Lodestar, Curtless P-36 Hawk, Fokker CX dan Boeing B-17 Flying Fortress.

Peperangan berkecamuk. Kemayoran tak luput dari serangan pesawat-pesawat terbang Jepang. Tanggal 9 Februari 1942, dua DC-5, dua Brewster dan sebuah F-VII terkena serangan Jepang. Hingga beberapa pesawat KNILM terpaksa diungsikan ke Australia.

Saat Jepang berkuasa (1942-1945), pesawat-pesawat buatan Jepang mengisi Kemayoran. Yang pertama mendarat adalah sebuah pesawat tempur Mitsubishi A6M2 Zeke atau lebih dikenal dengan nama Navy-0 atau Zero. Selain itu, pesawat Nakajima L2D yang mirip DC-3, Nakajima K-43 Hayabusa, Tachikawa K-9 (Churen) dan Takichawa K-36 (Chukiu) pernah mendarat di sana.

Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, pesawat-pesawat Sekutu juga datang ke Kamayoran, seperti Supermarine Spitfire, B-25 Mitchell dan P-51 Mustang. Selain itu berdatangan pula pesawat-pesawat lama buatan AS dan Eropa dengan versi baru. Ada DC-4/C-54 Skymaster, DC-6, Boeing 377 Stratocruiser, Lockheed Constelation dan banyak lagi. Setelah perang usai, industri pesawat terbang memang giat berproduksi.
Berbagai jenis pesawat

Pada masa-masa perjuangan Kemerdekaan, berdirilah Garuda Indonesian Airways, perusahaan penerbangan milik bangsa Indonesia. Dengan adanya Garuda, pesawat-pesawat modern masa itu pun hadir di Kemayoran, seperti Convair Metropolitan dan de Havilland DH-114 Heron. Disusul DC-6B, Lockheed Super Constelation dan Boeing 377 Stratocruiser yang dioperasikan untuk penerbangan jarak jauh, serta Convair 240, 340 dan 440 untuk jarak dekat dan sedang.

Era penerbangan sipil modern dimulai dengan ditandai beroperasinya pesawat-pesawat bermesin jet. Tahun '50-an merupakan masa puncak pesawat baling-baling bermesin torak, dan era jet mulai berkembang. Pada masa itu, pesawat-pesawat turboprop berdatangan ke Kemayoran, antara lain Saab 91 Safir, Grumman Albatross, Ilyushin Il-14, Cessna, juga pesawat-pesawat buatan Nurtanio, seperti NU-200 Sikumbang, Belalang dan Kunang.

Tahun '60-an, berbagai jenis pesawat singgah di Kemayoran. Garuda pun menambah jajaran armadanya dengan Lockheed L-188 Electra, Convair 990A Coronado, DC-9 dan Fokker F-28 Fellowship. Era ini juga datang pesawat yang dilengkapi dengan peralatan dapur udara, untuk menambah pelayanan penerbangan.

Bukan cuma sipil, AURI (kini TNI AU) juga memanfaatkan Kemayoran. Akhir tahun 50-an sampai awal '60-an berdatangan pesawat MiG-17, MiG-15 UTI dan MiG-19. Pesawat tempur itu, 49 MiG-17 dan 30 MiG-15 UTI di Skadron 11, dan 10 MiG-19 di Skadron 12 menempati areal Kemayoran. Pesawat pembom Ilyushin Il-28 yang ada di Skadron 21 dan 22 juga meramaikan Kemayoran. Bahkan sebelum ke Lanud Iswahyudi, Madiun, pesawat TU-16 dan TU-16 KS sempat beberapa bulan bernaung di Kemayoran.

Pada tahun '70-an, era pesawat jet berbadan lebar berteknologi canggih muncul, yakni B747, L-1011, DC-10 dan Airbus. Kemayoran hanya sempat disinggahi dua jenis pesawat yang terakhir itu. Pada 29 Oktober 1973, pesawat DC-10 milik KLM yang disewa Garuda tiba untuk angkutan jemaah haji. Jenis inilah pesawat terbesar dan terberat yang pernah singgah di Kemayoran. Sedangkan pesawat Airbus A300-B4 Garuda pertama digunakan untuk penerbangan Jakarta-Medan, tanggal 22 Januari 1982.

Kemayoran tahun 70-an memang sibuk. Hingga pemerintah membuka Halim Perdanakusuma, sebagai bandara internasional, 10 Januari 1974. Sebagian penerbangan dari Kemayoran berpindah. Tapi penerbangan domestik seluruhnya masih menjadi beban Kemayoran.

Beberapa pesawat, pernah pula mengalami nahas di Kemayoran. Sebuah Beechcraft pernah mengalami musibah saat mendarat. Pesawat lain, Convair 340 yang mendarat tanpa roda, DC-9 yang patah badaan di landasan, dan DC-3 yang terbakar. Yang paling dahsyat, kecelakaan Fokker F-27 yang menyebabkan seluruh awaknya meninggal. Saat itu F-27 sedang melakukan latihan terbang dengan satu mesin. Setelah tinggal landas, pesawat tiba-tiba membelok, kemudian menukik hingga menghantam kawasan bandara dan pesawat hancur terbakar.

Peristiwa datang silih berganti. Pesawat datang dan pergi, ada kecelakaan dan kejadian-kejadian yang menimbulkan kerusakan. Lebih dari 45 tahun beroperasi, Kemayoran mengikuti perkembangan pesawat angkutan sipil dunia. Tak terkecuali, pesawat militer pun pernah menjejaknya. Bahkan kini, dua landasan pacu landasan utara-selatan (17-35) 2.475 X 45 meter dan landasan barat-timur (06-26) 1.850 X 30 meter masih dipertahankan.

Landasan utara-selatan disiapkan untuk keadaan darurat bagi pesawat-pesawat militer. "Landasannya masih kuat untuk didarati pesawat-pesawat tempur, maka mediannya tidak boleh permanen," kata Abdul Muis. Di tengah jalur jalan itu pembatasnya cuma berupa pot-pot bunga yang bisa dipindahkan bila diperlukan.

Hingga hari-hari terakhir beroperasi, 31 Maret 1985, masih terdapat beberapa pesawat yang dulu hadir saat peresmiannya. Sebelumnya, tahun 1984, Kemayoran masih menyisakan suatu kenangan. Pesawat DC-2 Uiver dalam lawatannya mengenang 50 tahun terbang legendaris rally udara London-Melbourne tahun 1934, singgah untuk mengisi bahan bakar di Kemayoran. Pesawat lain yang selalu hadir adalah pesawat DC-3 Dakota. Pesawat jenis ini juga lah yang terakhir meninggalkan Kemayoran.
Selamat tinggal Kemayoran
Kemayoran dalam seri Petualangan Tintin

Bulan-bulan pertama sejak Bandara Kemayoran ditutup dan bandara dipindahkan ke Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, suasana masih tampak seperti sediakala, walau tanpa penerbangan dan aktivitasnya. Apalagi Kemayoran masih dicanangkan dipakai sebagai arena IAS tahun 1986. Saat airshow berlangsung, berbagai pesawat dipamerkan, termasuk juga berbagai atraksi terbang.

Tanah Kemayoran yang seluas 454 hektare itupun jadi perhatian berbagai kalangan. Departemen, pemda dan beberapa instansi merasa berhak untuk mengelolanya, dengan tujuan menjadikannya kota yang tertata baik dan bermanfaat. Untuk menghindari perdebatan semu, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1985, kekayaan negara yang merupakan sebagian modal Perum Angkasa Pura I itu ditarik kembali oleh Pemerintah sebagai kekayaan negara.

Rupanya bukan cuma departemen atau instansi yang penuh perhatian. Beberapa gelintir penduduk yang tahu ada aset berharga di tanah bandara itu, mulai menjarahnya. Berbagai peralatan yang tertanam di tanah, atau jauh dari jangkauan pandangan, hilang entah ke mana. "Saat pendataan aset, banyak yang saya tandai karena barangnya memang tidak ada," ungkap Abdul Muis.

Tapi beberapa kabel elektronika yang masih bertegangan listrik masih ada. Pernah kejadian, kendaraan pengeruk tanah membenturnya hingga terjadi semacam kortslet dan menyemburkan bunga api. "Beberapa waktu, jaringan kabel-kabel elektronika, seperti untuk radar dan alat telekomunikasi lain, memang masih tersambung ke kabel dalam yang berisi aliran listrik," kata Yoewono. Pemindahan ke Cengkareng yang terbilang 'sukses', rupanya masih menyisakan 'peninggalan'.

Untuk pemanfaatan lebih lanjut tanah Kemayoran, maka dibentuk Badan Pengelola Komplek Kemayoran (BPKK) berdasarkan Keputusan Presiden RI No.53 Tahun 1985, tanggal 17 Juni 1985 jo Kepres No.73 Tahun 1999. BPKK inilah yang bertindak untuk penguasaan dan pengelolaan Kemayoran. Sebagai pelaksana sehari-hari dilaksanakan oleh DP3KK.

DP3KK inilah yang melaksanakan pembangunannya dengan memanfaatkan pihak swasta. Pembangunan mulai berproses sejak awal tahun 1990-an. Tahun 1992, misalnya, rumah susun di bekas apron bandara yang jalan-jalannya dinamai sesuai jenis pesawat, seperti Jl. Dakota, rampung. Namun sungguh sulit meyakinkan masyarakat kecil itu untuk tinggal di gedung tinggi, walau jelas lebih bersih dari tempat mereka tinggal sebelumnya.

Sosialisasi rumah susun bagi penduduk memang tak mudah. Tapi menurut Abdul Muis, kini anak-anak muda dan para pekerja terlihat sudah menikmatinya.
Kondominium bermasalah
Kota Baru Bandar Kemayoran

Terjadi berbagai kasus pada beberapa pembangunan di kawasan Kemayoran itu. Pembangunan Kondominium Taman Kemayoran di sisi timur jalan utama Benyamin Sueb misalnya, ternyata tak lepas dari permainan KKN. Yang tersangkut tak tanggung-tanggung: selain direktur utama perusahaan pengembangnya, PT Duta Adhiputra, Seno Margono, juga mantan ketua DP3KK Hindro Tjahyono Soemardjan bahkan mantan Mensesneg Moerdiono pun sempat dipanggil ke Kejaksaan Agung.

Kabar terakhir dari kasus tersebut, selain Hindro dan Seno dituntut hukuman penjara masing-masing lima dan enam tahun plus membayar uang pengganti kepada negara 9,1 milyar rupiah, pembeli yang sudah menempati kondominium tersebut menuntut Kejaksaan karena menyita tempat tinggal mereka. Mengutip Kompas (6/4/1999), modal pembangunan 61,875 juta dollar AS termasuk tanah seluas 25.000 meter persegi senilai 9,375 juta dollar AS yang disediakan DP3KK. Menurut perjanjian, Seno Margono akan menyediakan dana 52,5 juta dollar AS namun ini tidak terlaksana, Seno gagal menyediakan dana.

Masih mengutip Harian Kompas, keduanya pun sepakat mengubah perjanjian sehingga tanah 25.000 meter persegi yang semula atas nama Setneg diubah menjadi hak guna bangunan (HGB) atas nama PT Duta Adhiputra, tanpa sepengetahuan Mensesneg. Sertifikat kemudian dijadikan jaminan kredit pada sindikasi bank, melalui Bank PDFCI. Terdakwa mendapat kredit 48 milyar rupiah. Menurut jaksa, perbuatan kedua terdakwa ini merugikan negara tak kurang dari 9,375 juta dollar AS.

Bersamaan dengan sidang kasus ini, tiga dari ratusan penghuni kondominium kemudian menggugat Kejaksaan Agung. Menurut Tempo (18/8/1998), karena kasus pidana Seno dan Hindro, Kejakgung meminta pengadilan untuk menyita kondominium yang dipersengketakan. Permohonan ini kemudian dikabulkan pengadilan. Namun seperti diungkap salah seorang penghuni, "Saya membeli satu unit dengan 225 juta rupiah uang halal. Enak saja kalau disita Kejaksaan Agung."

Lain lagi kasus Apartemen Istana Kemayoran yang gagal dibangun, apalagi kalau bukan karena dollar melangit. PT Raka Utama dan PT Setiabhakti Mayapersada, pengembangnya, hanya berhasil membuat pondasi. Padahal sekitar 300 orang telah membayar uang muka bahkan mulai mengangsur (dalam dollar AS, pula!) sejak apartemen ini dijajakan di sebuah pameran properti pada 1997. Pada Januari 1999, pengembang memutuskan untuk menghentikan pembangunan. Uang muka dan cicilan yang telah dibayar konsumen dikembalikan dalam rupiah dan tanpa bunga. Otomatis sejumlah pembeli protes keras. Sayang, kasus ini akhirnya mengambang begitu saja.
Menara kesenjangan

Masih di kawasan yang menggiurkan ini, rencana konglomerat Sudwikatmono, Prajogo Pangestu dan Henry Pribadi melalui PT Indocitra Grahabawana bersama PT Telkom, Indosat dan Yayasan TVRI membangun menara tertinggi di dunia terpaksa kandas. Di atas lahan yang kini menjadi 'kolam pemancingan' di hadapan gedung perkantoran PT Jakarta International Trade Fair Corporation sedianya dibangun Menara Jakarta setinggi 558 meter.

"Kalau Paris dikenal dengan Menara Eiffel, maka Jakarta nantinya akan dikenal dengan Menara Jakartanya," tutur (mantan) Menparpostel Joop Ave saat peresmian mulainya pembangunan fisik menara tersebut, Agustus 1997. Sayang, seperti 'cita-cita besar' bangsa kita yang lain membangun pesawat jet N2130, misalnya menara yang oleh penduduk Jakarta dijuluki 'menara kesenjangan' ini pun kandas diterpa badai krisis moneter.

Rasanya tak perlu lagi disinggung bagaimana rupa menara ini kelak. Juga tak perlu lagi kita bayangkan meriahnya grand opening yang sedianya dilaksanakan tahun 2001. Yang jelas dalam rupanya sekarang sebagai kolam pemancingan justru masyarakat kecil lah yang bisa menikmati.

Demikian pula hutan wisata yang di dalam 35.000 meter persegi areanya termuat waduk untuk resapan air penanggulangan banjir, di antaranya kawasan Kota Baru Bandar Kemayoran. Waduk itu kini 'dipadati' para pemancing dan panjala ikan (tanpa izin). Karena mereka tahu, pada 1993 dilepas ribuan ekor ikan. "Mereka pikir, itu milik Keluarga Cendana, hingga ramai-ramai dijarah," kata seorang petugas DP3KK).

Walau kini menjadi hiburan bagi masyarakat sekitar, menurut Abdul Muis, tidak demikian rencana semula. "Tadinya kami akan 'menjual' wisata alam dan pemancingan di hutan itu." Selain itu, katanya, bunga langka, Stephanos Betawi (Stephanotis javanicus) dan Markisa kecil (Passiflora feotida), masih ada di hutan itu.

Saat ini, pihak DP3KK memang tidak bisa berbuat banyak. Seperti juga untuk menertibkan para pedagang yang bermunculan di pinggir jalan utama. "Pelan-pelan akan kami tertibkan. Karena mereka juga seringkali tidak mau membersihkan sampahnya."

Rencana semula, kawasan hutan wisata itu juga akan dijadikan bird sanctuary atau suaka margasatwa untuk burung-burung. "Namun karena selama ini banyak proyek konstruksi di dekatnya, burung-burung yang semula ingin kami 'ajak singgah', pindah ke Pulau Rambut (salah satu pulau di Kepulauan Seribu yang merupakan tempat transit burung-burung liar,Red.)," jelas Abdul Muis.

Yang tampak menyedihkan adalah menara pemandangan yang sedianya menjadi salah satu daya tarik utama sebuah kawasan hutan wisata. Kondisinya sudah tidak terawat, bahkan kayu-kayunya sudah tampak rapuh. Padahal kalau kita berdiri di sana, angin semilir dan pemandangan menyejukkan mata merupakan kenyamanan tersendiri. Ada tak kurang dari tiga menara yang telah rapuh tak terawat.

Jakarta Fairground Kemayoran (JFK) dulu Pekan Raya Jakarta (PRJ) yang selalu dijadikan arena perdagangan saat ulang tahun kota Jakarta memang sudah berdiri. Namun kalangan masyarakat masih merasakan masih rawannya kawasan itu untuk dikunjungi. Menanggapi ini, Abdul Muis mengatakan, "Siapa bilang? Sekarang orang banyak datang." Tapi tentu belum seramai yang diharapkan, dan pihaknya juga sudah berusaha untuk menyediakan sarana transportasi umum dan keamanan daerah itu.

Sepi juga Pasar Gambir yang terletak di dekat JFK itu. Tiga jalan layang dan dua terowongan menewaskan seseorang (karena mabuk?) saat banjir menghadang juga masih belum seramai jalan layang di pusat kota. Jalan layang lain direncanakan dibangun, salah satunya untuk akses lancar ke Bandara Soekarno-Hatta. Tapi pusat onderdil kendaraan bermotor, tiap hari ramai dikunjungi.

Agak menyedihkan memang, nasib lahan bekas bandara yang sempat menjadi gerbang Indonesia ke dunia internasional ini. Kita harapkan saja dengan bangkitnya bangsa kita perlahan-lahan, generasi mendatang masih bisa setidaknya mengunjungi museum Kemayoran Tempo Doeloe dan bercengkerama dengan alam di hutan wisata Kemayoran. Selain impian untuk menjadikan Kemayoran pusat niaga internasional dengan akses data dunia. (nie/ade)